Tanah Adat Adalah Milik Masyarakat Hukum Adat, Ini Bedanya dengan Tanah Desa!

Anda disini : - - - Pos
4 Januari 2025 Legalitas Oleh :admin

Jawara Property – Tanah adat adalah istilah dalam dunia properti yang merujuk pada kepemilikan sebidang tanah oleh masyarakat hukum adat.

Secara umum, tanah adat terbagi dalam dua jenis, yakni tanah adat sebagai “bekas hak milik adat” dan tanah milik masyarakat ulayat hukum adat.

Tanah adat sebagai bekas hak milik adat, merujuk pada bidang tanah yang belum didaftarkan kepemilikannya dan disertifikatkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Dengan kata lain, tanah “bekas hak milik adat” merupakan bidang tanah yang status kepemilikannya belum dikonversi atau dinaungi hak milik.

Bukti kepemilikan tanah adat bekas hak milik adat pun bermacam-macam, mulai dari girik, petok, rincik, dan sebagainya.

Adapun tanah adat sebagai tanah milik masyarakat ulayat, biasa disebut tanah ulayat.

Tanah ulayat adalah bidang tanah yang menjadi kewenangan masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu berdasarkan lokasi tempat tinggalnya.

Simplenya, ini dapat diartikan sebagai tanah bersama warga masyarakat hukum adat.

Bentuk dari tanah ulayat pun bermacam-macam mulai dari tanah titian, tanah pengairan, tanah kas desa, tanah bengkok, dan lain-lain.

Cara Sertifikasi Tanah Adat

Secara umum, semua jenis tanah adat sebenarnya dapat didaftarkan serta disertifikatkan ke BPN.

Hanya saja, untuk jenis tanah ulayat, proses sertifikasi tidak bisa dilakukan begitu saja.

Proses sertifikasi tanah ulayat baru bisa dilakukan apabila tanah tersebut sudah dilepaskan dengan cara tukar guling, atau melalui pelepasan hak oleh kepala adat.

Namun, untuk tanah adat “bekas hak milik adat,” bisa langsung diurus pendaftaran tanahnya ke BPN tanpa melalui jual-beli terlebih dahulu.

Dengan catatan, proses pendaftaran dan penyertifikatan dilakukan oleh pemilik asli tanah tersebut.

Apabila tanah tersebut berstatus warisan, maka harus didahului dengan pembuatan keterangan waris dan prosedur waris.

Begitu pula jika hak atas tanah tersebut didapatkan melalui proses jual-beli, maka harus didahului dengan pembuatan Akta Jual Beli (AJB).

Untuk mengurus pembuatan sertifikat tanah adat, maka kita bisa merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Pemilik tanah dapat mengajukan pendaftaran ke BPN setempat.

Adapun dokumen yang diperlukan untuk melakukan pendaftaran tersebut, ialah:

  • Surat Rekomendasi dari lurah/camat tentang tanah yang akan didaftarkan.
  • Membuat surat tidak sengketa dari RT/RW/Lurah.
  • Surat Permohonan dari pemilik tanah untuk sertifikat (dapat diperoleh di BPN setempat).
  • Surat kuasa (jika ada orang lain yang mengurus).
  • Identitas pemilik tanah (pemohon) yang dilegalisasi oleh pejabat umum berwenang (biasanya Notaris) dan/atau kuasanya, berupa fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, surat keterangan waris dan akta kelahiran (jika permohonan penyertifikatan dilakukan oleh ahli waris).
  • Bukti atas hak yang dimohonkan berupa girik/petok/rincik/ketitir atau bukti lain.
  • Surat pernyataan tentang penandaan batas.
  • Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Tanda Terima Sementara (STTS) untuk tahun berjalan.

Setelah semua dokumen dikumpulkan dan didaftarkan di kantor pertanahan setempat, berikut beberapa prosedur yang harus kalian lalui:

  1. Petugas BPN akan meninjau lokasi dan mengukur tanah tersebut
  2. Pihak BPN menerbitkan gambar situasi/surat ukur
  3. Proses pertimbangan Panitia A, pengumuman, dan pengesahan pengumuman
  4. Pemohon membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan luas yang tercantum dalam gambar situasi/uang pemasukan
  5. Jika sudah selesai, maka sertifikat tanah akan terbit.

Biasanya, proses pendaftaran ini bisa memakan waktu sampai 3 bulan, tetapi mungkin saja lebih lama karena tergantung pada kondisi di lapangan.

Apakah Tanah Adat Bisa Diperjualbelikan?

Pertanyaan selanjutnya, apakah tanah ada bisa diperjualbelikan? Terkait hal ini, harus dilihat dulu jenis kepemilikan tanah adat tersebut.

Apabila tanah adat “bekas hak milik adat” dengan bukti kepemilikan girik, petok d dan sebagainya, maka bisa diperjualbelikan.

Hanya saja, pembeli perlu memastikan bahwa surat girik atau petok d yang dimiliki oleh pemilik tanah adalah surat asli.

Selain itu, penting juga untuk menelusuri catatan kepemilikan tanah tersebut ke kantor desa atau kelurahan setempat.

Biasanya, dokumen terkait catatan kepemilikan tanah girik atau petok d disimpan di kantor desa atau kecamatan setempat.

Namun, berbeda kasus dengan tanah ulayat yang tidak tidak bisa diperjualbelikan, serta bukan menjadi objek pendaftaran tanah.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Perbedaan Tanah Adat dan Tanah Desa

Selain tanah adat, ada juga istilah pertanahan lain di Indonesia, yakni tanah desa atau tanah milik desa.

Tanah desa adalah tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh pemerintah desa, guna mendapatkan pendapatan desa atau untuk kepentingan sosial.

Melihat pengertiannya, tanah desa mirip dengan tanah ulayat, karena tanah ulayat sendiri bisa diartikan sebagai aset bagi desa.

Tanah milik desa dan tanah dengan hak ulayat, keduanya merupakan properti adat yang menjadi hak masyarakat adat.

Faktor pembeda antara keduanya adalah tanah ulayat dilengkapi dengan hak ulayat dan dikuasai oleh masyarakat adat tertentu.

Sementara, tanah desa adalah tanah yang menjadi hak milik keseluruhan desa.

Semoga Ulasannya bermanfaat..

Leave a Comment

 

Arief Komarudin
arief@jawaraproperty.co.id